Rabu, 13 April 2011

Medical Check Up dengan Mendaki Gunung Lawu


Oleh Dr. Ahmad Supriyanto

Lawu Nan Membiru
Menatap Lawu yang membiru dari kejauhan, selalu memberi tantangan tersendiri di benak saya. Tahu kan, Gunung Lawu? Pas ramai-ramainya Serial Brama Kumbara, ada seorang pendekar wanita cantik jelita namun jahat bernama Lasmini, yang tinggalnya di Gunung Lawu. Sehingga di salah satu episode film serial tersebut, ada yang berjudul “Kembang Gunung Lawu.”
Aha, itu sih hanya fiksi saja. Tetapi keindahan gunung ini memang memesona. Beberapa objek wisata terkenal berada di lerengnya, seperti Tawang Mangu, Cemoro Sewu, dan Telaga Sarangan yang eksotis. Agak ke bawah, di sisi barat terdapat dua komplek percandian dari masa akhir Majapahit, yaitu Candi Sukuh dan Candi Cetho. Di kaki gunung ini juga terletak komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran: Astana Girilayu dan Astana Mangadeg. Di dekat komplek ini terletak Astana Giribangun, mausoleum untuk keluarga presiden kedua Indonesia, Suharto. Mantan orang kuat yang lebih dari 30 tahun memimpin Indonesia dimakamkan di situ.
Gunung Lawu (3.265 m dpl) terletak di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, sekitar 50 km dari kota Surakarta. Status gunung ini adalah gunung api "istirahat" dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang (solfatara).
Gunung Lawu memiliki tiga puncak, Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi. Pengin tahu rasanya mendaki gunung ini? Yuk ikuti petualangan kami?

Transit di Tawangmangu
Kami serombongan kumpul di depan kampus UNS bakda dhuhur dan bersiap bertolak ke tawangmangu dengan naik bis Solo-Tawangmangu. Waktu tempuh sekitar 2 jam, kalau dengan mobil sendiri bisa 1-1,5 jam. Kemudian kami turun di pasar yang juga satu komplek dengan terminal Tawangmangu, menjelang waktu ashar. Ada satu masjid megah di depan pasar, jadi, kami memutuskan sholat ashar di sana, sekaligus mengecek perbekalan yang kurang dan bisa berbelanja di toko  di komplek pasar.
Perjalanan kami lanjutkan ke basecamp (daerah Cemoro Sewu) dengan naik angkutan pedesaaan, kebanyakan L300 dengan lama perjalanan sekitar ½ jam.  Jalannya sangat menanjak dan menantang kepiawian sopir. Cukup menyeramkan juga. Namun kanan-kiri jalan yang banyak terdapat pemandangan indah, membuat rasa seram itu hilang. Apalagi, meskipun terjal, sebagian besar jalan sudah teraspal mulus, berbeda dengan beberapa tahun silam di mana jalan masih sempit dan derajat kemiringannya lebih terjal lagi.
Di Basecamp, kami shalat maghrib dijamak dengan isya dan beristirahat sejenak menunggu tengah malam. Enaknya sih berusaha tidur untuk mengumpulkan energi menjelang pendakian.  Tempat istirahat bisa menyewa rumah-rumah penduduk di sekitar basecamp, atau di warung-warung sekalian minum wedang jahe, lumayan untuk menghangatkan badan. Soalnya udara di sana … brrr duingiiin!
Gunung Lawu sangat populer untuk kegiatan pendakian. Setiap malam 1 Sura banyak orang berziarah dengan mendaki hingga ke puncak, hanya nuansa syirik dan mistiknya sangat dominan.  Sekitar 17 Agustus juga merupakan hari yang ramai, karena banyak yang akan merayakan HUT RI di puncak, nah yang ini sangat cocok bagi kita para pemuda. Karena populernya, di puncak gunung bahkan dapat dijumpai pedagang makanan, bahkan ada juga bakso. Secara, harganya juga berlipat-lipat.

Bismillah… Pendakian dimulai
Tepat tengah malam kami memulai pendakian. Mengapa malam hari? Karena kondisi yang gelap akan membantu secara psikis. Medan yang akan kami daki, tidak terlihat terjalnya. Jadi, keyakinan untuk bisa mendaki sampai puncak bisa semakin kuat.  Apalagi kami mengambil start pendakian dari Cemoro Sewu (terletak di Propinsi Jatim) yang tracknya lebih curam dan akan turun melalui basecamp Cemoro Kandang (terletak di Propinsi Jateng).
Pendakian dari Cemoro Sewu melalui dua sumber mata air, Sendang (kolam) Panguripan yang terletak antara Cemorosewu dan Pos 1, serta Sendang Drajat di antara Pos 4 dan Pos 5. Sedangkan kalau pendakian melalui Cemorokandang, akan melewati 5 selter dengan jalur yang relatif telah tertata dengan baik. Tetapi, kami memilih jalur Cemoro Sewu yang lebih ‘menantang’, secara, anak muda gitu lho!
Pendakian melalui cemorosewu akan melewati 5 pos. Jalurnya lebih ‘nge-track’. Akan tetapi jika kita lewat jalur ini, kita akan sampai puncak lebih cepat daripada lewat jalur Cemorokandang. Meskipun jalurnya lebih sulit, jalannya ternyata juga telah cukup tertata dengan baik. Jalannya terbuat dari batu-batuan yang sudah ditata.  Di pos 2 terdapat watu gedhe  (batu besar) yang kami namai watu iris (karena seperti diiris). Jalur dari pos 3 menuju pos 4 berupa tangga yang terbuat dari batu alam. Saat kami mendaki, pos ke-4 baru direnovasi, jadi untuk saat itu di pos 4 tidak ada bangunan untuk berteduh. Jalurnya … uh! Seru deh! Saking berkonsentrasinya kita pada jalan yang penuh tanjakan, biasanya kita tidak sadar telah sampai di pos 4.
Namun, perjuangan menaklukkan jalur menuju pos 4 terlupakan dengan dahsyatnya panorama yang terlihat dari sana. Menakjubkan. Di dekat pos 4 ini kita bisa melihat Telaga Sarangan dari kejauhan. Lampu-lampu yang berkerlap-kerlip, dengan tekstur alamnya yang khas, membuat kami bisa mengenali bahwa itu adalah kawasan Telaga Sarangan. Nah, usai itu, jalur dari pos 4 ke pos 5 sangat nyaman. Kami bisa berjalan dengan lebih santai, nggak nos-ngosan.
Di setiap pos kami beristirahat dan membuka perbekalan kami. Kegiatan yang paling favorit adalah memasak mie instan atau makan ampyang makanan yang terbuat dari gula kelapa dan kacang tanah. Ampyang ini sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan kalori secara cepat.

Tiba di Puncak
Akhirnya, setelah sekitar 3 jam lebih melakukan pendakian, kami tiba di puncak sekitar jam 04.00 WIB. Alhamdulillah Ya Allah … puncak dengan ketinggian lebih dari 3000 meter telah kami taklukkan dengan izin-Mu. Subhanallah…, kami merasa begitu kecil dengan Kebesaran Nya…. Apalagi, sayup-sayup kami mendengar suara adzan shubuh dari kejauhan. Terasa begitu lengang, dan indah.
Kami pun mempersiapkan shalat subuh di puncak lawu…, terasa berbeda dengan shalat shubuh harian yang terkadang kami lakukan sekedar mengguggurkan kewajiban. Begitu khusyuk. Begitu dekat rasanya kepada Sang Khaliq saat dahi kami menyentuh tanah beralas tikar yang begitu dingin.
Di ufuk timur, matahari mulai muncul, warnanya jingga kemerahan. Kami menikmati sunrise yang indah dengan membuka perbekalan dan menyiapkan kamera-kamera kami, mengambil momen yang luar biasa ini, yakni munculnya matahari yang juga akan segera menghangatkan belahan bumi. Mengusir hawa dingin yang membekap kami berjam-jam.
Hmm, sebenarnya ingin kami berlama-lama di puncak lawu, menikmati panorama ke semua arah barat, selatan, timur, utara..., yang semuanya terpandang begituuuu luar biasa!!!
Namun tanpa terasa jam sudah menunjukkan jam 08.00, so kami mesti bersiap untuk turun gunung melalui jalur lain dan berakhir di Cemoro Kandang. Jalur ini memakan waktu lebih lama karena memang jarak yang lebih panjang walau lebih landai.
Saat turun gunung itu, kami mempraktekkan satu resep khas pendaki. Satu resep turun gunung yang cepat dan tidak capek. Ingin tahu? Caranya adalah dengan mengayunkan kaki tanpa memberi kesempatan kaki berhenti, jadi sisa energi kinetiknya diayunkan lagi menjadi langkah selanjutnya, sehingga tidak ada energi yang  digunakan untuk menghentikan/mengerem ayunan langkah kaki. Intinya, terus melangkah dengan cepat, jangan sering berhenti-henti. Namun tetap berhati-hati kalau tracknya curam dan licin.
Saat perjalanan turun, barulah kami menikmati beraneka ragam vegetasi di gunung Lawu ini, dan yang khas adalah bunga edellweis, yang kadang dijuluki bunga abadi. Lebay, ah! Tapi, mungkin karena memang bunga ini ndak ada layunya, jadi disebut sebagai bunga abadi. Sejatinya, tak ada sesuatu yang abadi di dunia ini, kan?

Sate Kelinci Rasa Counterpain
Sekitar jam 12.00, kami tiba di basecamp Cemoro Kandang. Wuiih, perasaan gembira dan syukur kepada Sang Khalik semakin membuncah, karena telah diberi kesempatan menikmati keagungan ciptaan-Nya dan kembali turun dengan selamat … meski kedua kaki terasa pegal-pegal dan kedua lutut terasa mau copot.
Setelah sholat dhuhur dan ashar yang dijamak, kami langsung menyerbu warung yang memang ada di sekitar basecamp. Kami memesan kuliner khas Lereng Lawu. Tebak coba? Ya, sate kelinci. Meskipun sebagian dari kita mungkin merasa tidak tega menyantap daging binatang lucu itu, tetapi rasa daging kelinci benar-benar nikmat, lho! Lagipula, halal kan? Nah, sambil menunggu makanan siap santap, kami melumuri kedua kaki dengan counterpain jadilah sate kelinci rasa counterpain….

Medical Check-Up?
Mungkin karena basic saya adalah orang medis, jadi segala sesuatu selalu saya hubungkan dengan kesehatan. Bagi saya naik gunung adalah sebuah proses medical check-up. Lho, kok gitu?! Ya, kalau bisa naik dan turun gunung tanpa keluhan yang berarti, maka kondisi tubuh terutama fungsi jantung, pembuluh darah dan paru-paru dalam kondisi yang sehat. Kalau sebaliknya, berarti ada sesuatu yang nggak normal di dalam tubuh kita. Itulah sebabnya hingga hampir memiliki anak 3, saya masih senang melakukan kegiatan-kegiatan semacam ini.
Hari beranjak sore. Kami berkemas untuk pulang ke Surakarta, karena esok hari tugas rutinitas telah menunggu. Suatu saat, saya akan kembali ke Lawu, mendaki bersama istri dan anak-anak (kalau sudah cukup kuat). Insya Allah.





3 komentar: